ARGUMENTUM AD HOMINEM
Berpendapat, berdiskusi, berdebat, berargumentasi, atau apa pun namanya, adalah bagian dari penalaran. Itu menuntut pemberi pendapat atau pendebat untuk mengajukan argumen-argumen logis, bukan argumen sesat.
Dalam penalaran, dikenal istilah Argumentum ad hominem. Padanan ad hominem (Latin) adalah melawan orangnya. Argumentum ad hominem adalah sesat nalar yang terjadi jika dalam berargumen kita melawan orangnya bukan gagasam atau pendapatnya. Seseorang menolak atau menyalahkan gagasan orang lain dengan cara mencari kesalahan atau kelemahan pada dirinya, bukan pada idenya.
Ada tiga jenis kesesatan bernalar dengan cara ini. Pertama, Circumstantial ad hominem, yaitu salah nalar yang terjadi karena argumen kita sandarkan semata-mata pada keberadaan (misalnya jabatan, profesi, suku, agama, atau afiliasi politik) pemberi argumen. Sebagai contoh, usulan seorang gay agar keberadaan mereka diakui secara legal oleh pemerintah dianggap tidak sahih karena diusulkan oleh seseorang yang kebetulan gay. “Tentulah dia mengatakan itu karena dia seorang gay”, demikian tanggapan sesatnya.
Salah bernalar juga bisa terjadi karena kita menganggap pemberi argumen tidak dalam kapasitas untuk menyatakan itu (Tu quoque ad hominem). Meragukan nasionalisme seseorang hanya karena dia WNI keturunan merupakan simpulan yang sesat. Tidak ada jaminan orang pribumi lantas berperilaku nasionalis. Atau, keteguhannya terhadap demokratisasi diragukan hanya karena dia berasal dari kalangan militer, juga tak kalah sesatnya. Apa kalau seorang sipil sudah pasti menjadi demokrat sejati? Tentu jawabannya tidak selalu demikian.
Kesalahan yang ketiga adalah Abusive ad hominem. Ini kejam! Penolakan terhadap argumen dilakukan dengan menghujat atau mencari-cari kesalahan pemberi argumen. Sering kali kesalahan tersebut dibuat-buat atau tidak ada kaitan dengan argumen yang diajukan. Pihak yang tidak setuju dengan penggratisan uang sekolah ditanggapi dengan menuduh pengusulnya tidak memihak rakyat. Apa kalau uang sekolah gratis selalu berarti menguntungkan rakyat? Jangan-jangan itu dilakukan dengan menguras habis APBD! Korbannya pastilah rakyat juga. Ini adalah cara berlogika yang sesat. Simpulannya tidak didasarkan pada argumen yang logis.
Logika memasalahkan cocok tidaknya hubungan antara dua pernyataan (premis) dan simpulan yang ditarik dari pernyataan tersebut. Inilah yang dikenal sebagai argumen logis atau makul (kebalikannya adalah argumen sesat), bukan argumen yang salah. Logika tidak memersoalkan benar tidaknya pernyataan yang menjadi premis tersebut.
Cara berpikir yang sesat ini telah merasuki berbagai kalangan masyarakat, termasuk para tokoh publik. Simaklah pendapat seorang tokoh yang diucapkan di televisi berikut “Pendapat jutaan orang tidak mungkin salah. Atau, pendapat rakyat adalah pendapat Tuhan.” Apa benar kalau yang menyatakan rame-rame lantas yang diucapkan benar? Sekali lagi ini berlogika yang sesat.
Menanggapi setiap pendapat, termasuk yang disampaikan melalui tulisan, adalah salah satu bentuk penalaran. Agar tanggapan tidak sesat, kita harus menanggapi pendapatnya, bukan keberadaan orangnya (ad hominem). Kita debat saja argumennya. Berargumentasi secara logis juga menghindarkan kita dari debat kusir yang tak ada ujung, juga perasaan tak enak (sakit hati) di akhir perbincangan.
Sanggahan, misalnya, dapat dilakukan melalui tulisan juga. Tentu saja kalau secara substansial ada yang keliru dari pendapatnya, kita minta pertanggunggjawabannya secara proporsional. Menghakimi orang atas keberadaannya adalah kesesatan berlogika. Itu tidak boleh mengekang orang untuk berpendapat secara kritis.
Kritik itu baik. Kritik bukan penghakiman. Itu mengingatkan dan menyadarkan yang dikritik. Secara moral kita berkewajiban mengajukan kritik kalau kita merasa ada yang tidak beres. Kritikan tidaklah sama dengan pembangkangan. Itu tidak sekedar komandan bilang hadap kanan lalu ditanggapi oleh pasukan dengan hadap kiri. Oleh karena itu, teruslah berdikusi! (tho)